Toleransi dan Multikulturalisme Masyarakat Kudus dalam Bingkai Kebinekaan
![]() |
Mabda Al Ahkam Mahshula, Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas FKIP, Universitas Muria Kudus |
Opini Mabda Al Ahkam Mahshula
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Sejak dahulu, jika kita berbicara mengenai Kabupaten Kudus, mungkin yang akan muncul di benak sebagian besar masyarakat adalah mengenai Kudus sebagai salah satu kabupaten dengan industri rokok terbesar di Indonesia. Tapi, banyak juga masyarakat yang menjuluki Kudus sebagai salah satu kota santri. Ini tidak mengherankan, mengingat betapa banyaknya pondok pesantren yang ada di Kabupaten Kudus.
Menghimpun dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Tengah di tahun 2024, terdapat 199 pondok pesantren yang berdiri di Kabupaten Kudus. Jumlah yang bisa dikatakan cukup banyak untuk sebuah Kabupaten yang memiliki luas wilayah yang tidak terlalu besar.
Bahkan, dari penamaan kotanya saja, kita bisa merasakan betapa kuatnya nuansa Islami yang mengalir. Nama Kabupaten "Kudus" yang kita kenal saat ini ternyata berasal dari bahasa Arab, yaitu "Al-Quds", yang berarti "kota suci" atau "tempat yang suci". Selain itu, adanya beberapa tokoh besar yang berpengaruh dalam masa awal penyebaran agama Islam di Indonesia seperti Sunan Kudus dan Sunan Muria membuat citra Kudus sebagai kota santri semakin kuat. Dan hal itulah yang pada akhirnya membuat nilai-nilai agama Islam selalu tertanam begitu dalam di setiap sendi-sendi kehidupan masyarakat Kabupaten Kudus.
Tetapi, mungkin ada beberapa orang yang masih belum menyadari tentang sisi lain Kabupaten Kudus yang sangat menarik untuk sekiranya dibahas di sini. Sisi lain tersebut tentunya tak lain dan tak bukan adalah kehidupan harmonis dan penuh toleransi masyarakat Kabupaten Kudus yang begitu multikultural.
Ini bukan sekadar bualan atau isapan jempol belaka, karena tentunya kita bisa melihat banyaknya bukti mengenai bagaimana masyarakat Kudus selalu menjaga toleransi dan keharmonisan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Hal pertama yang bisa kita rasakan, atau lebih tepatnya kita cicipi, adalah melalui berbagai kuliner tradisional yang ada di Kabupaten Kudus. Jika kita lihat secara lebih seksama, akan sangat sulit menjumpai kuliner berbahan dasar daging sapi di Kabupaten Kudus. Hal ini disebabkan masyarakat Kudus cenderung lebih memilih daging kerbau sebagai alternatif sumber protein. Contoh yang paling populer adalah sate Kebo dan soto Kudus. Kedua makanan tersebut adalah beberapa contoh makanan khas Kabupaten Kudus yang menggunakan daging kerbau sebagai pengganti daging sapi untuk bahan baku utamanya.
Sebenarnya ada sejarah yang melatarbelakangi ini semua. Jika kembali ke masa silam, masyarakat Kudus yang hidup di masa lalu mayoritas masih beragama Hindu. Dan waktu itu, Sunan Kudus, salah satu dari sembilan wali masyhur, yang lebih sering disebut sebagai Walisongo, mencoba untuk menggunakan pendekatan yang lebih humanis dalam menyebarkan agama Islam tanpa perlu menimbulkan pertikaian. Cara tersebut adalah menghimbau kepada para pengikut beliau untuk tidak menyembelih daging sapi sebagai bentuk penghormatan kepada masyarakat Hindu.
Seperti yang kita ketahui, sapi adalah hewan mulia dalam kepercayaan Hindu. Dengan menghormati kepercayaan umat Hindu tersebut, bukan hanya menarik simpati mereka untuk tertarik dengan agama Islam, tapi juga menjaga kerukunan dan keharmonisan yang pada akhirnya sedikit demi sedikit terbentuk di dalam jati diri masyarakat Kudus secara keseluruhan.
Selain dari segi kuliner, bukti toleransi dalam masyarakat Kudus yang multikultural juga dapat kita jumpai juga melalui arsitektur, terutama arsitektur rumah ibadah atau masjid. Contoh yang paling masyhur ditemukan adalah Masjid Menara Kudus.
Di dalam kompleks Masjid Menara Kudus, terdapat sebuah bangunan menara yang memiliki arsitektur yang sangat unik. Bangunan menara tersebut terlihat sekilas serupa dengan candi.
Gaya arsitektur bangunan dari menara tersebut memperlihatkan secara jelas pengaruh gaya Hindu-Jawa, dengan memiliki struktur tumpang bersusun tiga dan bentuk atap yang begitu khas.
Selain bangunan menaranya, terdapat juga pintu gerbang yang memiliki desain arsitektur yang sekilas mirip Candi Bentar. Contohnya bisa ditemui di bagian serambi masjid sebuah pintu gerbang bernama Gapura Padureksa. Namun, masyarakat sekitar lebih sering menjulukinya sebagai Gapura Lawang Kembar.
Tidak hanya bangunan dengan corak Hindu-Jawa saja yang bisa kita temui di sana. Ada juga bangunan pendukung lain yang memiliki sentuhan ajaran Buddha, yaitu pada tempat pancuran wudlu. Di sana terdapat delapan buah pancuran yang sering dipercaya sebagai adaptasi dari sebagian ajaran Buddha yang mengajarkan tentang jalan kebenaran, atau juga disebut sebagai Asta Sanghika Marga.
Semua kombinasi tersebut, terutama yang berasal dari berbagai corak budaya dan agama yang ada dalam pernak pernik arsitektur Masjid Menara Kudus tentunya dapat memperlihatkan bagaimana wujud toleransi dalam keberagaman yang terjaga kuat di Kabupaten Kudus.
Tapi, dari semua bukti dan peninggalan sejarah yang ada, bagi saya, wajah sesungguhnya dari Kabupaten Kudus yang dapat mencerminkan implementasi nilai Bhinneka Tunggal Ika di dalam kehidupan bermasyarakat, dapat kita temukan di daerah Kudus Kulon (Kudus bagian barat), tepatnya di area sekitar Alun-Alun Kulon (Taman Menara). Di area tersebut, bisa kita jumpai tiga rumah ibadah sekaligus, yaitu Masjid Menara Kudus, Masjid Madureksan dan Klenteng Hok Ling Bio. Di sana tentunya juga terdapat beraneka macam toko-toko bergaya Timur Tengah, Tionghoa, dan Jawa.
Melihat banyak bangunan dari berbagai corak identitas, budaya, dan agama yang berjejer dan berdekatan serta saling melengkapi satu sama lain, membuat kita bisa merasakan sisi humanis dan toleran yang masih terjaga hingga sekarang.
Dari sini kita sebenarnya bisa melihat bagaimana nilai-nilai toleransi dan multikulturalisme sudah tersemat begitu kuat dalam jiwa masyarakat Kudus sejak zaman dahulu. Tentu saja semua nilai-nilai tersebut merupakan cerminan dari semangat Bhinneka Tunggal Ika yang telah bangsa ini perjuangkan sejak awal berdirinya negara Indonesia.
Namun, alih-alih hanya fokus dalam membanggakan semua nilai-nilai itu sebagai identitas masa lalu, kita tentunya juga perlu menjaga, melestarikan dan menguatkannya kembali semua nilai-nilai tersebut sebagai salah satu senjata yang dimiliki bangsa ini untuk bisa terus menghalau segala tantangan dan rintangan yang menghadang di masa depan.
Semoga harapannya nilai-nilai yang telah menjadi identitas masyarakat Kudus ini tetap terjaga dan lestari, sehingga semangat toleransi masyarakat Kudus kedepannya diharapkan mampu menular ke kota atau kabupaten lain, supaya cita-cita bangsa ini dalam membangun masyarakat yang damai di tengah keberagaman, dapat terwujud.
Karena pada akhirnya, persatuan yang kuat tidaklah dibangun atas dasar persamaan yang dimiliki setiap orang, akan tetapi dibangun atas dasar saling menerima perbedaan satu sama lain.***
Mabda Al Ahkam Mahshula, Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas FKIP, Universitas Muria Kudus
Posting Komentar